Yang Datang dan Yang Pergi


KotaSantri.com - Jam Dinding menunjukan pukul dua belas malam tepat. Entah kenapa tiba-tiba aku terbangun. Kutatap dalam-dalam wajah istriku yang masih lelap dalam tidurnya. Kubelai perlahan anak-anak rambut yang tergerai didahinya. Kamu cantik Ratri..., bisikku perlahan.

Tanpa terasa, usia pernikahan kami sudah menginjak tahun yang ketiga, tapi kami belum juga dikaruniai anak. Ya.. Allah karuniakan kepada kami anak, seorang saja pun tak mengapa..., begitu jerit do'aku tiap malam diatas sajadah. Tapi, entahlah hikmah apa yang tersembunyi dibalik semua ini. Aku yakin, Allah menyimpan hikmah itu untuk kuketahui kelak. Ya, itu Pasti!!

"Ratri.., bangun... shalat yuuk..." Kutepuk pipi istriku perlahan. Ia menggeliat. Aku tersenyum saja. Mungkin ia masih lelah, seharian mengurus tumah. Mengepel, memasak, mencuci, membersihkan rumah, masih ditambah lagi kesibukannya menulis di media cetak. Ah.. aku sayang padamu Ratri...

Akhirnya, aku beranjak sendiri. Berwudhu dan kemudian tenggelam dalam shalat malamku yang panjang. Dan selalu do'a itu yang aku dahulukan. Rabbanaa lain aataitana shaalihan lanakunanna minasy syakiriin. Ya, Allah jika Engkau memberi kami anak shalih, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.

Jam dinding berdentang tiga kali. Ketika aku menghabiskan tiga rakaat terakhir witirku. Kulihat Ratri sudah ada dibelakangku dengan wajah merajuk. Kutatap wajahnya dengan geli.

"Kamu kenapa? Mulutnya monyong begitu...??" godaku. Ratri semakin merajuk.
"Si Mas mesti begitu..., nggak bangunin Ratri..." protesnya.
Aku tersenyum arif. "La Wong, kamu pulas banget tidurnya. Mana tega Mas bangunin.., tadi nulis sampai jam sebelas 'kan? Mosok baru tidur satu jam sudah disuruh bangun lagi..."
"Iya deeh.., tapi nanti temani Ratri muraja'ah Qur'an yaa...," pintanya manja.
"Inggih, sendiko dawuh.., jawabku dengan logat Jawa yang kaku. Maklum besar di Betawi! Ratri tertawa geli mendengar jawabanku. Serentak jemarinya yang mungil beraksi menggelitik pinggangku.
"Ssst.., sudah ah, shalat sana, nanti keburu shubuh..., "elakku.
Ratri masih tersenyum sambil mengerjapkan matanya, lucu.

Sering kulihat Ratri termenung menatap ikan-ikan di aquarium kami. Matanya binar menatap kosong ikan-ikan berwarna perak itu. Ia betah diam tanpa ekspresi seperti itu.

"Sssst .., Muslimah kok hobi bengong, sihh...?" bisikku persis di telinganya. Ratri tersentak kaget. Pipinya bersemu merah, malu ketahuan melamun.
"Enngg....ngak kok, ini lho mas..., ikannya bertelur...," katanya perlahan.
"Ck... pura-pura, dari tadi Mas lihat matamu ngak berkedip, lama banget. Itu bengong namanya, Non...," kuacak kepalanya gemas.

"Ikan saja bisa punya keturunan ya Mas..., kita kapan?" tanyanya lirih, hampir tak terdengar. Seketika mataku memanas. Leherku tiba-tiba tercekat. Oh, Allah... ratri tersenyum manis, lalu mengamati lenganku menuju meja makan. Tak lama kemudian ia kembali berceloteh menceritakan aktifitasnya seharian. Ah, Ratri.... Ratri...

Ketika pernikahan kami menginjak tahun kedua, kami sudah memeriksakan diri secara intensif kedokter kandungan. Hasilnya, kami berdua normal! Dokter cuma menyuruh kami bersabar, berdo'a dan berusaha tentunya. Yah.., barangkali kami berdua memang sedang diuji.

"Nikah lagi aja, Maaasss...," celetuk Ratri suatu kali.
Aku tersentak. Keturunan memang sangat kuharapkan. Tapi membagi cintaku pada Ratri dengan wanita lain, meski itu dibolehkan dalam Islam, apa aku sanggup?? Kucubit pipi istriku perlahan.
"Ngak takut cemburu?" tanyaku menggodanya.
"Cemburu khan manusiawi Mas..., Aisyah juga cemburu pada Khadijah, tapi bukan cemburu masalahnya Mas..., kalau Mas punya istri lagi, 'khan Ratri bisa ikut membesarkan anak dari istri Mas...," tuturnya panjang lebar.
"Kalau dia juga tidak bisa hamil?"
"Ambil istri lagi..."
"Kalau belum punya anak juga?"
"Ambil lagi..."
"Hussss.... sembarangan!!" protesku pura-pura galak. Kudekap kepala mungilnya erat-erat.

Hari ini hari ulang tahun pernikahan kami yang keempat. Umurku sudah dua puluh delapan tahun. Uban dikepalaku sudah belasan jumlahnya. Ketika menikah dulu, Ratri bilang ubanku ada enam lembar!! Dan sampai saat ini kami belum dipercaya Allah untuk menimang seorang anak. Tapi aku masih mencintai Ratri. Dan, tidak akan pernah pudar.

Wajah Ratri yang oval dengan hidung yang bangir dan mulut mungilnya kelihatan merah berseri-seri. Kulihat ia membawa sebuah nampan yang tertutup menuju kearah meja makan. Lalu ia menarik lenganku manja.

"Sini Mas...," ajaknya.
Aku menurut saja. "Happy fourth anniversary...," katanya lembut. Mataku berkaca-kaca. Perlahan kubuka nampan itu. Sebuah kue tart, romantis sekali. Dan sebuah amplop, dengan logo sebuah klinik. Keningku berkerut. Ketika tanganku bergerak hendak mengambil amplop itu, seketika Ratri merebutnya.

"Makan dulu doooong....," protesnya.
Aku cuma menggeleng-gelengkan kepala, sambil tersenyum. Tak urung kuraih pisau lalu. "Bismillahirahmanirrahiim..," kupotong kue tart itu. Ratri tersenyum, ia kelihatan bahagia sekali. Kutengadahkan tanganku meminta amplop itu. Ratri menggeleng. Makan dulu..., katanya. Kugaruk-garuk kepalaku dengan gemas. Ni, anak bikin penasaran juga.

Setelah selesai menyantap potongan kue yang kumakan dengan dua kali telan. Dan Ratri protes karenanya. Kurenggut amplop di tangannya. Dan Subhanallah..., Maha suci Engkau wahai Rabb sekalian alam!!! Ratri hamil!!! Masya Allah...., setelah sekian tahun!!! Seketika aku tersungkur sujud. Air mataku meleleh. Kudekap kepala Ratri erat-erat. Air mataku masih mengalir, menitik membasahi kepala Ratri. Ia mendongak, jemarinya menghapus air mataku.

"Mas menangis?" tanyanya retoris.
Aku mengangguk. Ya, aku menangis! Tangis syukur....
"Kok, periksa ke dokter nggak bilang-bilang?" protesku.
"Biarin, nanti nggak surprise ...," katanya. Tiba-tiba aku merasa bersalah. Sejak tahun ketiga pernikahan kami, aku tidak rajin mengikuti tanggal-tanggal haid dan masa subur Ratri seperti dulu. Kudekap Ratri makin erat.

Sejak hari itu, kesehatan Ratri menjadi perhatian utamaku. Aku sering marah-marah kalau Ratri masih juga menulis sampai larut malam. Ya, tiba-tiba aku menjadi sangat cerewet.

Sembilan bulan, lebih delapan hari. Rasanya hari itu tiba..., tadi pagi Ratri sudah mulas-mulas. Katanya mulasnya dimulai dari punggung menjalar sampai kedepan. Aku ribut setengah mati. Kuraih gagang telpon. Aku menelpon seorang teman untuk membawa mobil kerumah. Ratri masih mengeluh mulas-mulas. Tiba-tiba keluar cairan, oh... air ketubanya sudah pecah.

Di rumah sakit aku begitu gelisah. Bapak-ibu yang menungguiku cuma menggeleng-geleng kepala. Maklum anak pertama, begitu kata ibu. Ya, Allah... entah kenapa aku tiba-tiba merasa ketakutan yang luar biasa. Ya Allah, selamatkan istri dan anakku..., bisikku berulang kali.

"Bapak Syaiful Bahri?" seorang dokter keluar dari ruang bersalin.
"Ya..., saya, Dokter...," sahutku cepat. Kuhampiri dokter itu.
"Ada sedikit kelainan, harus dioperasi... Suster, tolong bimbing Pak Syaiful untuk mengisi formulir ini..." kata dokter itu.
Aku tersentak kaget! Operasi? Astaghfirullah...
"Tapi..., istri saya tidak apa-apa'kan dokter??" tanyaku khawatir.
Dokter itu terdiam. "Berdo'alah ...," katanya pelan. Kugigit bibirku erat-erat. Allah..., selamatkan isri dan anakku.. Kuambil wudhu dan shalat di musholla. Kuhabiskan gelisahku disana.

Tiba-tiba kudengar suara tangis bayi. Anakku...,: desisku perlahan. Aku seperti dituntun nuraniku. Bergegas keluar musholla.
"Bapak Syaiful Bahri..."
"Ya, Dokter..."
"Selamat, bayinya perempuan, sehat, tiga setengah kilo, cantik seperti ibunya..." kata dokter itu.
"Alhamdulilah..." desisku berulang-ulang.
"Istri saya dokter?"
Dokter itu terdiam. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menjalar disegenap hatiku. Kutatap mata dokter itu dengan tatapan penuh tanya. Tiba-tiba dokter itu menepuk bahuku perlahan, sementara kepalanya pun menggeleng perlahan pula.

Mulutku terngaga seketika.

"Ma'afkan .., saya sudah berusaha. Tapi Tuhan menghendaki lain...," katanya. Air mataku berloncatan tanpa bisa dibendung. Dokter itu perlahan membimbingku masuk ke ruang bersalin. Aku menurut saja tanpa rasa.

Sosok tubuh ditutup kain putih terbaring. Perlahan dokter itu membuka kain penutup itu. Inalilahi wa innailayhi raji'uun... Wajah Ratri terlihat pucat. Tapi bibirnya tersenyum manis..., manis sekali. Kudekap kepala Ratri erat-erat, tangisku tak tertahankan.

"Sabar... sabar... pak...," hibur dokter itu." Suster, bawa kemari anak Bapak Syaiful Bahri...," katanya lagi.

Seorang bayi mungil yang masih merah disodorkan dihadapanku. Perlahan kugendong dan kutatap ia. Dadaku masih sesak karena tangis. Kutatap bayi merah itu dan Ratri berganti-ganti. Mereka begitu mirip. Matanya, hidungnya, mulutnya..., Allahu Akbar !!!.

Rupanya ini hikmah itu, Ratri..., Allah memberi kesempatan padaku untuk menemanimu selama empat tahun, untuk akhirnya memanggilmu setelah ia memberikan gantinya.....

Ya, Allah jangan biarkan hatiku berandai-andai, seandainya saja aku tidak mengharapkan anak, jika itu membawa kematian Ratri..., ini semua takdir-Mu, ya Rabbi....

Ketika Kuncup Luruh Terpercik Nila



KotaSantri.com Ahmad terduduk luruh seluruh tulangnya serasa lepas dari raganya. Tidak satu katapun dapat terucap dari bibirnya. Ia hanya mengeleng pelan ketika mas Iwan, kakak iparnya menanyakan tentang proses pemakaman. Ia mengangguk mengiyakan semua kata-kata mas Iwan tanpa memikirkan lagi.

Sejuta rasa sesal menikam dan menusuk jiwanya. Tiga tahun bukan waktu sebentar untuk menunggu kehadiran makhluk mungil yang lucu dan lembut itu untuk mengisi hari-harinya bersama Tiara.

Terbayang jelas di ingatannya bagaimana hari-hari selama hampir delapan bulan ini ia isi dengan penuh semangat dan harapan. Bagaimana ia dengan ikhlas membuatkan segelas susu untuk Tiara setiap pagi dan sorenya, bagaimana ketika ia mengelus-elus perut Tiara yang semakin membesar dan merasakan tendangan-tendangan kecil dari dalam perut Tiara.

Rasanya ia tak sabar untuk segera mengendong bayi mungilnya setiap kali ia mendengarkan detak jantung dan melihat gerak makhluk mungil itu setiap Tiara periksa USG.

Bagaimana rewelnya ia ketika memilihkan perlengkapan bayi, rasanya ia yang cerewet dalam hal ini di banding Tiara.

“Jangan berlebihan mas, sesuai ukuran kita saja.” Tiara menginggatkan Ahmad saat Ahmad ngotot memilih kereta bayi yang lebih mahal.

“The best buat adek ya..?” jawab Ahmad sembari mengelus perut Tiara. Kalau tak ingat ini di toko, ingin rasanya ia menempelkan telinganya di perut Tiara untuk mendengar ‘jawaban’ dari calon anaknya itu. Tia hanya dapat menghela napas. ”Ingat budget mas..”

”Itu bisa diatur” jawab Ahmad santai sambil berjalan kearah box bayi yang cantik itu meski diikuti dengan harga yang aduhai.

Rasanya Ahmad sanggup bekerja lebih keras lagi agar bisa memberikan yang terbaik saat si kecil itu lahir. Ia ingin semua sudah tersedia dan sebagus mungkin. Tapi sekeras apapun ia bekerja rasanya belum menjangkau impiannya untuk dapat menyediakan istana mungil nan cantik bagi bayi mungilnya nanti. Rumah, ya rumah yang ia tempati rasanya kurang pantas untuk menyambut kedatangan buah hatinya. Rumah itu masih orisinil seperti saat ia beli dulu dari developer. Kamar buat sikecil akan pengap rasanya kalau tidak diganti desain interiornya. Dan lagi, dimana nanti pengasuh si kecil akan tidur? Rumah ini hanya punya dua kamar yang tidak begitu luas, kasihan buah hatinya nanti jika harus tidur dikamar sekecil itu.

“Nggak usah pake pengasuh mas, saya kan di rumah. Ibu baru akan pulang ke Solo kalau saya sudah pulih mas, jadi nggak perlu pengasuh, apalagi renovasi rumah. Kita kan hanya cukup untuk persiapan melahirkan mas, bukan untuk renovasi rumah. Lagipula bikin kamar lagi diatas kan nggak cukup sepuluh juta kan mas.” Ucap Tiara mengingatkannya.

“Ya...” balas Ahmad pelan sambil mengenggam tangan Tiara. Ia merasa tak berdaya tak dapat memberikan yang terbaik buat istri dan anak yang sudah lama mereka nanti-nantikan.

Ahmad tahu benar bagaimana usaha Tiara agar dapat hamil. Dari mulai konsultasi ke dokter ahli, pijat, minum ramuan tradisional sampai melepas kariernya yang sebenarnya harus Ahmad akui; lebih menjanjikan daripada Ahmad sendiri.

“Nggak pa-pa aku berhenti sekarang mas, kata dokter mungkin karena aku terlalu capai jadi belum hamil. Lagipula nanti toh aku berhenti juga untuk mengurus anak kita.” papar Tiara ketika Ahmad menyangsikan keputusannya untuk berhenti. Ahmad tahu; pekerjaan Tiara telah mendarah daging baginya, karena sesungguhnya ia adalah seorang workaholic.

Tapi Ahmad punya keinginan lain dan rasanya akan segera terwujud. Pagi ini rasanya semakin dekat saja bayangan sebuah rumah mungil nan cantik dengan sebuah kamar berinterior indah, nuansa lembut untuk anak-anak dan dilengkapi peralatan bayi yang bermutu tentunya.

Ia juga akan menyiapkan pengasuh si kecil agar Tiara tidak terlalu capai dan si kecil dapat optiomal terawat dan terawasi.

“Terimakasih banyak pak. Bagaimana, diskon yang dua setengah persen itu bapak inginkan dalam bentuk cek atau tunai?” Pria berkepala botak itu menyalami tangan Ahmad sambil memamerkan senyumnya yang dalam pandangan Ahmad terkesan seperti penjilat. Tapi biarlah, apa bedanya dengan dirinya saat ini?

“Tunai saja, besok di bank.”

“Haiyaa.., saya mengerti. Tunai tentunya.” Kembali ia memamerkan senyumnya yang bagi Ahmad terasa seperti melecehkan. Tentu saja tunai lebih aman, tak ada jejak transfer.

Sekarang uang sebesar seratus dua belas juta lebih masuk kantongnya! Itu bukan jumlah sedikit! Dan itu cukup untuk mewujudkan harapannya untuk menyambut si kecil.

Tiara menolak mentah-mentah ketika Ahmad mengajaknya ‘mengungsi’ sementara waktu ke rumah orang tua Ahmad.

“Darimana mas dapat uang untuk renovasi rumah ini?” suara halus Tiara terdengar tajam di telinga Ahmad. Tiara tahu saat ini Ahmad sedang mengerjakan proyek di kantornya, pembelian alat-alat itu dalam jumlah yang tidak sedikit dan siapa saja bisa bermain di situ untuk mendapat ‘cipratan’, dan Tiara tak mau Ahmad terjebak disana.

“Aku pinjam kok, lagian bentar lagi dapat bonus, mungkin tiga setengah kali gaji.” Lidah Ahmad sebenarnya terasa kelu ketika mengucapkan kalimat itu.

Bonus darimana? Perusahaannya mana mau memberikan bonus sebesar itu, paling banter satu kali gaji. Selama menikah baru kali ini Ahmad membohongi Tiara, dan itu disusul kebohongan-kebohongan selanjutnya. Duh.!

“Benar ya mas, TOLONG HATI-HATI DENGAN REZEKI YANG KITA MAKAN, terlebih sebentar lagi saya akan melahirkan si kecil ini. Jangan main-main mas, dua nyawa yang mas pertaruhkan.” Ahmad hanya mengangguk tak kuasa menjawab yang berarti hanya berbohong lagi.

Dari dalam mobil Ahmad dengan puas memandangi rumah mungilnya yang bertingkat dua, cantik. Dan bagian paling indah itu ada di kamar bayi ia desain dengan nuansa lembut nan cantik dan diisi oleh furniture bayi kelas satu.

“Ah, mustinya mobil ini juga harus ganti, kasihan nanti buah hatinya jika harus naik mobil tua ini.” Batin Ahmad sembari tersenyum membayangkan Tiara duduk di sampingnya memangku si kecil yang berceloteh lucu. Dalam mobil yang layak dan berAC tentunya.

“Masih cukup.” Gumam Ahmad setelah menghitung dalam hati sisa uangnya ditambah penjualan mobil ini, masih cukup untuk membeli sebuah sedan bekas tahun 90 an.

Namun bayangan indah itu tiba-tiba tertutup mendung sehinga menjadi suram. Entah karena apa Tiara pendarahan. Solusio plasenta!

Penjelasan dokter hanya menambah Ahmad bingung, rasanya ia dan Tiara telah amat hati-hati menjaga kehamilan Tiara, kenapa bisa solusio plasenta, yang kata dokter disebabkan benturan keras diperutnya atau karena kondisi kesehatan yang buruk.

“Ibu pernah jatuh?” tanya dokter itu setelah tahu Tiara tak bekerja. Tiara mengeleng.

“Mungkin saja ibu kena tendangan bapak sewaktu tidur, tak sengaja tentunya.” komentar dokter itu seenaknya. Saat itu Ahmad mulai merasa panas hatinya. Dokter sok tahu! Seenaknya saja ngomong, padahal kalau ia tidur seperti batang kayu, tak bergerak-gerak, anteng!

“Suami saya anteng kok dok kalau tidur, rasanya tak mungkin ia menyepak saya, lagipula masak sih saya tak merasa kalau tersepak? Pasti saya sudah teriak dok..” Tiara segera mencairkan suasana karena ia merasa pasti Ahmad sudah kesal.

Dan setelah berpikir beberapa saat, dokter itu kembali memberikan komentar yang seenak perutnya, menurut Ahmad.

“Pak, Bu, kalau begitu sebaiknya bapak ‘puasa’ dulu, kasihan bayinya kalau masih pendarahan lagi harus dikeluarkan, padahal baru tigapuluh dua minggu, paru-parunya belum matang.” Ucapnya dengan kalem.

“Dokter sok tahu.! Kalau bukan perempuan sudah kumaki dia.!” Ahmad tak tahan menahan emosinya begitu tiba di kamar dimana Tiara harus menjalani bedrest di Rumah Sakit ini.. Apa dia nggak tahu kalau Ahmad udah puasa dari kandungan Tiara enam bulan? Dan itu bukan hal hal yang mudah bagi lelaki normal seumurnya, tapi demi Tiara dan calon anaknya, apapun Ahmad mau melakukan. Tapi dokter itu seenaknya saja komentar.!

“Sudahlah mas, dokternya kan Cuma menganalisa dan kasih masukan buat kita. Jangan emosi gitu dong, ntar anaknya ketularan lho..” seperti biasanya Tiara segera meredam emosi Ahmad. Dan seperti biasanya pula Ahmad akan segera luruh emosinya jika menghadapi senyum manis Tiara untuknya yang penuh ketulusan itu.

Tiara harus bedrest untuk menyelamatkan bayinya agar bertahan sampai paling tidak tiga puluh lima minggu. Selama itu Ahmad rela melayani Tiara yang harus benar-benar total ditempat tidur. Bagaimanapun ia tak ingin kehilangan si kecil yang sudah lama mereka nantikan kehadirannya.

Tapi sekuat apapun keinginan dan usaha manusia, masih ada yang lebih kuat diatas segalanya. Tiara memandang dengan wajah pucat kearah Ahmad yang senantiasa setia menungguinya. Pandangan mata Tiara berpindah-pindah dari mata Ahmad ke arah perutnya yang ia pegangi.

“Kenapa? Sakit?” tanya Ahmad dengan bingung dan ikut-ikutan memegang perut Tiara. Tiara hanya mengeleng dan membisu, tapi dari matanya mengalir butiran air bening menuruni pipinya yang pucat. Setelah menarik napas panjang ia istigfar berkali-kali, dan setelah dapat menguasai dirinya, ia berkata lirih.

“Rasanya dia sudah nggak bergerak mas.” Meski suara Tiara terdengar lirih dan tenang tapi bagaikan petir di telinga Ahmad. Dengan panik Ahmad memanggil dokter yang segera memeriksa Tiara. Dan terpaksa Tiara harus menjalani operasi Caesar untuk menyelamatkan jiwanya. Tiara selamat, tapi bayi itu sudah dipanggil Alloh SWT beberapa saat sebelum Tiara merasakan bahwa sudah tidak ada gerakan lagi di perutnya.

Ahmad merasa seakan terhempas ke jurang yang tak berdasar, sakit yang belum pernah ia rasa sebelumnya. Bayangan peristiwa silih berganti bermain di pelupuk matanya. Kamar yang cantik serta segala sesuatu yang ada di dalamnya yang telah ia siapkan untuk buah hati tersayang.

Tapi yang menusuk hatinya ketika teringat ekspresi wajah Tiara saat mengingatkannya tentang dana renovasi rumah. ”Jangan main-main mas, dua nyawa yang mas pertaruhkan.” Kata-kata itu masih tergiang di telinga Ahmad.

***

Ahmad menoleh dengan malas saat Iwan menepuk pelan pundaknya. ”Telepon dari Tiara di Rumah Sakit.” Bisik Iwan sembari menyodorkan handphonenya kepada Ahmad. Ahmad memang sengaja mematikan handphonenya, rasanya ia ingin pergi kesuatu tempat dimana ia bisa sendirian merenungi kepiluan hatinya dan rasa penyesalannya.

“Assalamu'allaikum..” suara Tiara pelan terdengar tapi tenang. Tiba-tiba Ahmad merasa malu sendiri. Bagaimana mungkin ia malah melarikan diri merenungi kesedihannya dengan melupakan Tiara? Padahal Tiara pasti lebih merasa kehilangan dibandingkan dia. Tiara yang mengandung bayi itu selama delapan bulan, merasakan tendangan-tendangannya dan membawa kemanapun ia pergi.

“Mas, sudahlah. Allah telah memanggilnya, ia milik Allah, kita hanya dititipi. Pasti Allah punya rencana lain yang lebih baik untuk kita. Insya Allah ini yang terbaik mas.” Suara Tiara meski tenang tapi terkandung air mata disana, tapi ternyata ia lebih tegar.

“Tolong mas ikhlaskan dia. Dia memang anak kita, tapi Alloh pemiliknya. Saya hanya bisa mendoakan dari sini.” Tiara mengakhiri teleponnya dengan salam setelah tak mendengar sepatah kata pun dari mulut Ahmad.

“Wa’allaikumussalam...” jawab Ahmad setelah tersadar dari lamunannya. Entah Tiara masih mendengar salamnya atau tidak. Tapi sebuah kesadaran kini muncul dalam diri Ahmad. Ia harus kuat dan ikhlas! Mungkin inilah cara alloh menegurnya dan menyelamatkan anaknya agar tak menikmati hasil tak halal dari bapaknya. Mungkin juga anaknya enggan tinggal dan menikmati rumah serta kamarnya yang indah, tapi ada belepotan noda disana sini.

Ahmad beristiqfar beberapa kali sebelum akhirnya bangkit berdiri untuk ikut mengurus pemakaman putrinya yang akhirnya ia berikan nama ‘Safa Fitria’. Karena ia bersih, suci dan putih.

***

Ahmad memandangi rumah mungil bertingkat dua yang cantik itu sambil tersenyum, ikhlas dan lega. Meski rumah itu sudah bukan lagi miliknya, tapi ia lega dapat mengembalikan uang dua setengah persen potongan harga peralatan yang ia beli untuk kantornya. Ahmad hanya tersenyum dan tak berkata sepatah katapun ketika manajernya memandangnya dengan wajah penuh tanya sambil memegang cek sebesar seratus dua belas juta lebih itu.

“Maaf pak, tolong bapak tanda tangani surat ini.” Ahmad menyodorkan surat bukti penyerahan cek itu pada manajernya, yang kemudian menandatanginya dengan penuh rasa heran. Diam-diam sebuah rasa malu dan sesal menyelimuti hatinya. Entah berapa kali berapa persen diskon yang pembelian peralatan atau sub kontrak proyek yang telah masuk ke rekeningnya?

Ahmad menstater mobil tuanya sambil melambai kearah rumah mungilnya yang cantik. ”Masih belum ikhlas mas? Goda Tiara yang duduk disampingnya.

“Masak Cuma melambai juga nggak boleh?“ Ahmad menoleh kearah Tiara dengan wajah memelas. Tiara tertawa melihat ekspresi wajah Ahmad yang seperti anak kecil dimarahi ibunya .

Mobil Ahmad melaju menuju rumah baru mereka yang ‘kembali’ sederhana. Tapi disana ada harapan terajut rapi akan hadirnya kuncup didalamnya yang akan tersirami dengan rejeki tanpa percikan nila meski tak sampai setetes.

Mencari Senyuman



Seorang lelaki tua dengan langkah tertatih-tatih memasuki sebuah kota. Wajahnya kusut, matanya liar dan pakaiannya kumal. Beberapa orang yang berpapasan dengannya segera menyingkir.

Di suatu tempat, di bawah sebuah pohon setua dirinya, lelaki itu tersungkur. Perlahan ia mencoba bangkit dan kembali memandangi orang yang lalu lalang di kota itu.

Lelaki Tua: "Tolong…! Tolonglah aku! Tolong…!" (mengiba, mengulang-ulang perkataannya)

Dua lelaki muda melintas di hadapannya. Memandang sekilas kemudian menghampirinya. Lelaki tua itu terus merintih-rintih. Beberapa orang lewat begitu saja tanpa peduli.

Lelaki 1: "Ada apa, Pak? Ada apa?" (memegang tangan, membimbing lelaki tua itu bangkit)

Lelaki 2: "Ya, apa ada yang bisa kami bantu?" (prihatin)

Lelaki Tua: "Tolonglah saya. Tolong! Saya…saya mencari sesuatu yang telah tak ada lagi di kota kami."

Dua lelaki muda itu saling berpandangan heran.

Lelaki 1: "Sesuatu yang tak ada lagi di kota bapak?"

Lelaki Tua: "Ya…,aku mencari sesuatu yang sangat berharga, yang tiba-tiba saja tercerabut dari wajah semua orang di kota kami." (manggut-manggut, sedih)

Lelaki 1 dan lelaki 2: "Apa itu…?"

Lelaki Tua: (menerawang penuh harap) "Sebuah senyuman."

Lelaki 1 dan 2: "Senyuman?"

Lelaki 1: "Aneh. Bapak bilang bapak mencari sebuah senyuman. Apa saya tidak salah dengar?"

Lelaki Tua: (menggeleng-gelengkan kepala) "Ya, aku sudah berjalan begitu jauh, mencari sebuah senyuman."

Lelaki 2: "Jangan bergurau! Semua manusia diciptakan dengan wajah. Di dalam wajah kita, ada bibir yang bisa digerakkan begini, begini dan begitu (menggerakkan bibirnya ke depan, ke samping dan sebagainya dengan kesal).

Lelaki 1: "Ya, bahkan orang segila apa pun masih memiliki senyuman. Aku benar-benar tak mengerti. "

Lelaki Tua: "Kalau begitu kalian menganggapku lebih dari gila!? (sewot). Dengar, aku tidak mengada-ada! Semua orang di kotaku sudah tak bisa lagi tersenyum! Titik!"

Lelaki 1 dan 2 saling berpandangan kembali.

Lelaki 1 : (menarik napas panjang, menggaruk-garuk kepala yang tak gatal) " Baiklah. Sesuatu terjadi tentu ada sebabnya. Mungkin aku pun telah gila, tetapi aku ingin tahu hal apa yang menyebabkan penduduk di kota kalian tak bisa tersenyum?"

Lelaki 2: "Ya, apa ada orang-orang yang berkeliaran dan menjahit semua bibir penduduk di kotamu, sehingga mereka tak bisa lagi tersenyum atau membuka mulut untuk tertawa?" (mengejek)

Lelaki Tua: (menggeleng, serius) "Tidak. Bahkan jahitan-jahitan di mulut kami telah dilepaskan. Dulu memang penduduk kota kami tidak bisa bicara, kecuali (mencontohkan) Hm…hm…(mengangguk-angguk), tetapi kini, setelah jahitan-jahitan dilepaskan dari bibir kami, entah mengapa bibir kami menjadi kebas. Kami bebas berkata-kata tetapi tak bisa lagi tersenyum. Bahkan, bila kami mencoba untuk tertawa yang keluar adalah amarah, tangisan dan airmata…."

Lelaki 2: "Aku tak mengerti. Aku benar-benar tak mengerti. Lebih baik aku pergi daripada mendengarkan celotehan orang gila ini!" (kesal dan berbalik akan pergi)

Lelaki 1: (mengejar lelaki 2 yang bergegas pergi) "Tunggu, teman! Tetapi…kurasa, entahlah…, ia datang dari jauh, mungkin ia mengatakan yang sebenarnya, dan mungkin kita bisa kita menolongnya."

Lelaki 2: (cemberut) " Menolong? Bagaimana menolong orang gila ini?"

Lelaki 1 bergegas menghampiri lelaki tua itu.

Lelaki 1: "Katamu seluruh penduduk di kotamu tak dapat lagi tersenyum?"

Lelaki Tua: (manggut-manggut): "Ya…,ya…."

Lelaki 1: "Berarti kau juga?"

Lelaki Tua: (manggut-manggut lagi) "Tentu saja!"

Lelaki 1 bergegas kembali menghampiri Lelaki 2. Wajahnya lebih cerah.

Lelaki 1: "Dengar, lelaki tua itu mengaku bernasib sama dengan seluruh penduduk di kotanya! Ia juga tak bisa tersenyum! Tugas kita adalah menolongnya agar ia bisa tersenyum lagi! Nah, setelah ia bisa tersenyum kembali, mungkin hal ini akan berpengaruh pada para penduduk kota itu."

Lelaki 2: (Bengong) "Jadi…kita harus membuatnya tersenyum?"

Lelaki 1: "Ya, tunggulah sebentar di sini. Aku akan menyuruh orang membawa makanan dan minuman yang enak untuknya. Siapa tahu ia akan tersenyum."

Lelaki 2: "Tentu saja (setuju, yakin), ia akan tersenyum dan berterimakasih pada kita."



Lelaki 1 meninggalkan tempat itu. Lelaki 2 sesekali memperhatikan si lelaki tua. Wajah lelaki tua itu keras, dingin, dan penuh curiga.

Tak lama, Lelaki 1, kembali bersama seorang lelaki lain bergaya genit (lelaki 3) yang membawa baki penuh berisi makanan dan minuman yang enak. Mereka meletakkan nampan besar itu di hadapan si lelaki tua.

Lelaki 1: "Ini kubawakan makanan dan minuman lezat. Nikmati dan tersenyumlah."

Lelaki Tua: (memakan makanan dan minuman itu dengan rakus) "Terimakasih…."

Lelaki 2: (menghampiri) "Mengapa kau tak mengucapkan terimakasih sambil tersenyum pada kami?"

Lelaki Tua : "Sudah kukatakan, aku tak bisa tersenyum!"

Lelaki 1,2,3 saling berpandangan.

Lelaki 2: "Aku akan menggelitik kakinya. Biasanya bila digelitik, orang pasti akan tertawa!"

Lelaki 1 : "Ya, ya…, ide yang bagus!"

Lelaki 3: (bindeng) "Aih, ike juga setuju!"

Lelaki 2 segera menggelitik kaki lelaki tua itu, tetapi tak ada reaksi. Ia menggelitik sekujur badan orangtua itu. Sia-sia. Lelaki tua tersebut tak juga tertawa. Akhirnya ketiga lelaki itu menggelitik sekujur badannya secara bersamaan.

Lelaki Tua: "Aduh…aduh, sakit! Aduh perih! A…duh!" (mengerang)

Lelaki 1,2,3: (Terkejut, menghentikan tindakan mereka) "Sakit? Perih?"

Lelaki 2: "Mengapa kau tak tersenyum? Seharusnya kau tertawa! Orang akan tertawa bila kegelian!"

Lelaki tua: (melotot) "Aku tidak bisa, tahu! Bodoh! Bukankah sudah kukatakan sejak tadi, aku tak bisa lagi tersenyum. Jadi berhentilah melakukan hal yang konyol! Tolong aku, anak muda!"

Lelaki 1,2,3 berpandangan keheranan.

Lelaki 1: (bangkit) "Sebentar, aku punya akal!" (pergi)

Lelaki 2 dan 3 bangkit sambil memandang lelaki tua itu sebal. Mereka bolak-balik di hadapan lelaki tua itu sambil memikirkan cara membuatnya tersenyum. Sesekali lelaki 2 nyengir kuda melihat gaya lelaki 3 yang centil. Tetapi lelaki tua itu sama sekali tak bergeming.

Lelaki 3 (bindeng): (berlari gembira menghampiri lelaki tua itu) "Aih, aku punya dollar yang banyak! Kau mau? Ambillah? Nih, ini! Semua menjadi milikmu!"

Lelaki Tua: "Untukku? Boleh." (memasukkan semua dolar ke sakunya).

Lelaki 3 : (bengong, bindeng) "Mana ucapan terimakasihmu?"

Lelaki Tua: "Terimakasih." (datar)

Lelaki 3: (kesal, bindeng) "Di mana-mana, orang itu kalau dikasih bantuan, apalagi uang, matanya berbinar-binar, hati menjadi girang dan ia akan tersenyum bahkan tertawa. Bagaimana sih?"

Lelaki Tua: (cemberut) "Ngasih kok nggak ikhlas. Sudahlah, tolong saja aku dan para penduduk kota agar bisa tersenyum kembali…."

Lelaki 2 dan 3: "Huh!" (kesal)

Tiba-tiba, lelaki 1 datang bersama seorang badut yang lucu sekali. Badut itu menari-nari, menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Sang Badut mengitari lelaki tua dan mencoba terus menghiburnya.

Badut (jenaka) : "Apakabar, Pak tua? Tralala trilili, aku pelucu, penghibur semua orang (tertawa-tawa), janganlah takut!" (badut memamerkan berbagai aksi lucu)

Lelaki 1,2,3 : (tertawa dan bertepuk tangan melihat aksi badut)

Lelaki tua itu menatap Sang Badut agak lama, lalu di luar dugaan, ia malah menangis. Lambat laun tangisan itu berubah isakan yang semakin kencang. Lelaki 1,2 dan 3 keheranan.

Lelaki Tua: ( Menangis, sedih sekali) "Mengapa harus ada orang sepertimu? (menunjuk-nunjuk badut). Setelah tiga puluh dua tahun kepedihan ini kau muncul dengan konyolnya."

Lelaki 3: "Aih, apa maksudmu, Pak Tua!"

Lelaki 1: "Ya, bukankah seharusnya badut dapat membuat orang tersenyum dan tertawa?"

Lelaki Tua: (menangis)"Sungguh, aku telah melihat badut-badut bermunculan tahun ini di sepanjang jalan di kota kami. Seolah mereka adalah pahlawan yang bisa mengurangi derita dan membuat kami menyunggingkan senyuman. (mencoba berhenti menangis) Dengar! Kami hanya bisa menertawakanmu dalam kegetiran terpencil di sudut sanubari kami. Kalian tak bisa membodohi kami. Sebab kalian cuma badut! Bahkan bila kalian mengenakan jas, dasi atau sorban sekali pun! Senyumku bukan untuk orang seperti kalian!"

Lelaki 2: "Oh, Tuhan! Aku tak mengerti! Ia malah marah!"

Badut: (Kesal) "Ya, sudah. Lebih baik aku pergi."

Lelaki 1 dan 2 berpandangan bingung sambil menggelengkan kepala. Lelaki 3 dengan centil melambai-lambaikan tangannya pada Sang Badut.

Lelaki 3: "Aih, daaag, Om Badut!"

Suram. Ke empat lelaki itu termenung sesaat.

Lelaki Tua: (berjalan,mencari, mendamba) "Senyuman…, di mana senyuman itu? Aku ingin membawa berjuta senyuman kembali ke kota kami…, senyuman…mana senyuman itu? Kehidupan kota kami bagai mati tanpa senyuman…." (merintih sedih)

Hening.

Lelaki 1: (berteriak) "Pak Tua! Hei, Pak Tua! Sebenarnya siapakah yang mengambil semua senyuman dari kota kalian!?"

Lelaki 2: "Ya! Itu yang belum kau ceritakan pada kami!"

Lelaki Tua: (mengernyitkan kening, menggelengkan kepala, menerawang) "Aku tidak begitu pasti. Mereka para penjarah."

Lelaki 2: "Penjarah? Apa yang mereka jarah?"

Lelaki Tua: "Apa saja. Harta, kedudukan bahkan kehormatan. Mereka menjarah beras, gula juga perempuan. Mereka membakar dan membuat onar. Memaksa kami menggigil karena takut dan lapar, setiap malam dan siang. Mereka bermain-main dengan darah lalu tiba-tiba para ulama kami mati. Kemudian tak ada lagi senyum yang bisa kami temukan. Semua senyum mereka rampas, untuk mereka bagikan pada orang-orang gila yang kini berkeliaran di kota kami…. "

Hening lagi.

Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk. Lelaki-lelaki itu mencari arah datangnya suara dan terkejut melihat banyak orang menuju ke arah mereka. Wajah orang-orang itu seperti mencari sesuatu. Lelaki 1 segera menghampiri salah seorang di antara mereka.

Lelaki 1: "Siapa kalian? Darimana dan hendak kemana?"

Orang 1: "Kami mencari orang-orang yang bercahaya."

Lelaki 2: (menghampiri) " Orang-orang yang bercahaya? Apa maksudmu?"

Orang 1: "Kami telah kehilangan senyuman. Hanya orang-orang bercahaya yang bisa mengembalikan senyum kami."

Lelaki Tua : ( tersentak, tergopoh-gopoh) "Jadi kalian juga seperti aku? Hidup tanpa senyuman?"

Orang-orang itu mengangguk-angguk.

Lelaki Tua: "Dan hanya orang-orang yang bercahaya, yang bisa membuat kita kembali tersenyum?"

Orang 1: "Ya."

Lelaki 2: "Siapa mereka? Di mana mereka?"

Orang 1: "Entahlah. Kita bisa jelas mengetahui, ketika kita melangkah di jalan cahaya…."

Lelaki Tua: "Melangkah di jalan cahaya?"

Orang 1: "Ya, melangkah di jalan cahaya!"

Orang-orang itu mengangguk-angguk dan segera berlalu dari hadapan mereka. Tiba-tiba lelaki tua menyusul. Ia berlari ke arah orang-orang itu.

Lelaki Tua: "Aku ikut! Cahaya! Cahaya!" (berlari meninggalkan ketiga lelaki yang tampak bingung).

Lelaki 3: "Aih, masak sih senyuman begitu susah dicari. Sampai harus menuju cahaya segala. Lihat nih (pada lelaki 2), senyumku manis kan?"

Lelaki 2: (melompat, terbelalak) "Itu bukan senyuman! (pada Lelaki 1) Teman, lihatlah, seringainya! Menyeramkan!"

Lelaki 3: (bingung, mencoba tersenyum, tetapi yang tampak seringai yang mengerikan)

Lelaki 1: "Benar! Kkkau menakuti kami! Seharusnya kau tersenyum. Lihat senyumku, ini…"

Lelaki 3: (takut) "Aih, tolong!! Senyummu membuatku takut! Toloooong!" (lari meninggalkan Lelaki 1 dan Lelaki 2).

Lelaki 2: "Berhenti tersenyum! Kau menyeramkan. Nah, lihat senyumku (mencoba tersenyum, tetapi kaku) "A…apa yang terjadi…, a…aku tak bisa tersenyum…."

Lelaki 3: (memegang bibirnya) "A…aku juga…,mengapa bisa begini? Apa yang…sebenarnya terjadi?"

Panik.

Lelaki 1 dan 2: (sedih, bingung) "Senyuman…, di mana senyuman? (mencari, melangkah tak tentu arah) Cahaya…, cahaya… di mana cahaya? Senyuman…senyuman… di mana senyuman…? Cahayaaaa!?? Senyumaaaann!? Senyumaaaan!? Cahayaaaa!?"

Ibu Tua Pemotong Padi


Semburat merah di ujung langit menyapa bumi di pagi yang cerah. Padi di atas sepetak sawah yang kuning merunduk menanti para pemotong yang berlari diatas pematang dari berbagai arah, seolah-olah berlomba untuk tiba lebih dulu dari yang lainnya, ada pula yang telah datang sejak hari masih gelap setelah mendengar dari mulut ke mulut bahwa sawah ini akan dipanen pagi ini.

Terdengar aba-aba dari penyawah, orang-orang pun tidak menunda waktu langsung pada berloncatan ke atas sawah untuk menebaskan parangnya, dengan tebasan-tebasannya yang begitu cepat segenggam demi segenggam padi dari tangan kiri mereka berpindah tempat membangun gundukan-gundukan kecil.

Seorang Ibu Tua nampak dari kejauhan masih berlari kecil diatas pematang, tangan kirinya menggepit sebuah telombong, sebuah parang pun kelihatan berayun ditangan kanannya.

"Ini bagian saya!"
"Belah sini semuanya sudah ada yang punya, coba ke sebelah sana."

Para pemotong saling bersahutan berteriak ketika Ibu Tua itu tiba pada sudut sawah yang terdekat kepadanya. Dia pun berlari lagi menuju ke tepi-tepi yang lainnya dari sepetak sawah itu, meskipun masih banyak padi yang belum terpotong namun semua telah menjadi daerah teritori orang-orang yang datang lebih dulu dan tak tersisa bagian untuknya.

"Kamu sih kesiangan, coba ke sawah Haji Anu, katanya hari ini akan dipanen juga." Salah seorang pemotong berteriak menyuruhnya pergi.
"Tadi juga kesana dulu tapi sudah tidak kebagian." Jawab Ibu Tua dengan berteriak pula sambil menyimpan parang di telombongnya, kemudian berjalan dengan lunglai kearah dimana aku berdiri. Setelah dekat terlihat jelas wajahnya yang penuh kerutan tampak kecewa.

Dia meletakkan telombong dan membuka sepasang kaos kaki kumal yang membungkus tangannya, lalu mengusap peluh diwajahnya dengan ujung kemeja rombeng berlengan pendek yang melapisi kebaya tua yang dikenakannya. Aku hanya menatap dan tersenyum, ingin menyapa tapi tak tahu namanya.

"Kesana tidak kebagian, kesini juga sudah tidak kebagian." Keluhnya sambil duduk diatas pematang, melonjorkan kakinya yang telanjang.
"Dulu meskipun datang belakangan sepanjang ada yang tersisa untuk dipotong masih bisa ikutan, tidak ditandai bagian siapa-siapanya seperti ini." Dia melanjutkan keluhannya.

Tak enak rasanya berdiri sementara orang lain yang mengajak berbicara duduk dibawah, aku pun lalu berjongkok disebelahnya. Kasihan, tapi tak tahu harus bilang apa selain mencoba menghibur hatinya.
"Tidak apa-apa Nek, mendingan kita menonton saja, nanti kalau sudah selesai saya kasih deh."
"Aduh... terima kasih banyak Neng, nyamperin sini bukan mau minta dikasihani koq, cuma mau duduk saja dulu, tapi kalau Neng mau ngasih ya terima kasih." Jawabnya dengan mata berbinar, wajahnya yang penuh dihiasi kerut merut pun mengembangkan senyum.

Kami menyaksikan orang menuai padi yang suasananya semakin ramai dan gaduh dengan saling berteriak untuk mengobrol, bercanda dan bergossip, sekali-kali diselingi juga oleh tawa. Pantaslah sepupuku bila musim panen sering mencuri-curi dari suaminya untuk ikut menuai padi ke sawah orang meskipun ahirnya setelah pulang kerumah kadang menimbulkan pertengkaran, bagi dia katanya ikut menuai padi sudah jadi hobi yang memberikan kegembiraan tersendiri bukan karena butuh upahnya yang justru suka dikasihkan ke orang lain agar tidak ketahuan oleh suami.

Lain halnya dengan Ibu Tua ini, dia bercerita bahwa kalau tidak kebagian jatah untuk ikut menuai padi maka dia tak akan punya beras untuk dimasak esok hari karena itulah mata pencaharian dia satu-satunya. Apa Ibu Tua ini tidak punya anak yang bisa meringankan beban hidupnya? Ah kalaupun dia punya anak, mungkin anaknya pun sama miskinnya sehingga dalam usia lanjut ini dia sendiri masih harus berlomba dengan orang lain untuk menuai padi. Aku bicara sendiri dalam hati.

Matahari telah meninggi, sawah dihadapanku sudah merata, yang tertinggal hanya pangkal-pangkal tanaman padi. Orang-orang sudah mengemasi padi yang telah mereka potong dan lepaskan dari tangkainya. Satu demi satu mereka pergi membawa butiran padi di telombongnya masing-masing untuk disetorkan pada penyawah dan menerima satu pertujuh bagian dari padi itu sebagai upahnya.

Aku berjalan kearah mereka pergi dengan diikuti oleh Ibu Tua, terbersit ide di kepala, selama ini di Indonesia telah banyak program-program anak-asuh untuk membantu anak-anak dari keluarga yang tidak mampu, begitu pula program-program bea siswa. Tapi belum terdengar ada program orang tua asuh untuk membantu orang-orang lanjut usia yang miskin agar tidak terlalu berat beban hidupnya demi sesuap nasi sebagai penyambung hidup hingga ajal tiba.

Belimbing Bersujud



LANGIT di timur belum tampak bercahaya, namun gema shubuh sudah selesai dikumandangkan muadzin di semua penjuru Bumi Tanjung Kasih. Eyang masih duduk di mimbar mushala rumah kami. Satu demi satu penghuni rumah salam sungkem padanya. Eyang manggut-manggut dengan wajah sumringah, walau kedua matanya sudah lamur untuk bisa melihat jelas siapa yang ada di depannya.

Hari ini semua anak cucunya sudah berkumpul di rumah teduhnya. Aku jadi ingat saat aku masih jadi Zahra kecil, yang selama tujuh tahun hidup bersama Eyang di desa ini. Eyang paling suka menyanyikan gending ilir-ilir, yang didendangkannya saat sore menjelang maghrib, di beranda rumah sambil menatap hijaunya sawah dan liuk dedaun nyiur bersama bebatang padi. Gending itu, bahkan, sempat membuat aku bosan dan penasaran, "Mengapa harus ilir-ilir yang menjadi favoritnya? Mengapa tidak dandang gulo atau mocopat saja yang lebih seru, tentang sengketa jati diri kompeni dan kaum pribumi?"

"Cah angon, cah angon… pene'no blimbing kuwi…," begitu ia bersenandung.
"Kenapa harus pohon blimbing, Yang? Pohon durian saja, buahnya lebih enak!"
"Karena blimbing itu bergigir lima, yang artinya beragama, cah ayu."
"Emang blimbing punya agama? Agama apa Yang?"
"Bukan blimbingnya yang punya agama, tapi yang manjatnya, Zahra!"

Eyang tersenyum menatapku. Tampak giginya yang mulai tanggal satu persatu. Tapi, Eyang tetap tampak gagah di mataku. Walau usia telah mengantarnya ke pintu renta.

"Agama kita itu dibangun di atas lima rukun. Maksudnya, kita yang meyakini rukunnya harus bisa menghidupkan yang lima itu. Artinya, kita harus bisa bergigir lima seperti blimbing."

"Lunyu-lunyu pene'no kanggo mbasuh dodo tiro…"

Tangan lembutnya membelai rambut panjangku. Senyumnya tak pernah lepas, dan itu yang membuatku nyaman, hingga selalu ingin dekat dengannya.

"Buat mencuci diri kita yang kotor karena dosa. Kalau blimbing bisa menghilangkan noda di baju, maka lima rukun agama bisa membersihkan dosa di diri kita."
"Caranya?"
"Caranya dengan beribadah yang betul, untuk tahu ibadah yang betul kita mesti rajin mengaji."
"Mengaji itu kan membosankan, bikin ngantuk."
"Memanjat pohon blimbing juga susah, itu sebabnya mesti dicoba terus menerus, sampai bisa."
"Kalau tidak mau mengaji?"
"Ya tidak akan tahu cara beribadah yang betul"
"Memangnya kenapa kalau kita tidak tahu caranya ibadah?"
"Manusia itu tempatnya salah dan lupa, Zahra! Kalau tidak dicuci dengan ibadah akan semakin lekat nodanya."
"Kalau tetap tidak mau mengaji?"
"Kalau kamu tidak mau belajar mengaji, nanti kamu tidak bisa main-main di taman surga, karena surga hanya boleh dimasuki oleh orang yang sudah bersih dari noda."

Aku malas mengaji, karena Mas Iyashu dan Mbak Syakira bilang kalau salah dan susah menghafal Al-Qur'an, pasti tangannya dapat sabetan rotan dari Pak De Ja'far. Tapi Pak De Ja'far bilang, surga itu tempat terindah bagi anak-anak yang shaleh. Aku sering tertawa sendiri jika ingat hal itu, betapa sempitnya cara berpikirku. Tapi aku suka, karena ternyata aku punya juga pengalaman konyol seperti itu.

"Aku ngajinya diajari Eyang aja. Kalau banyak yang salah, harus banyak dimaafkan!"

Eyang kembali tertawa lepas. Kali ini dia sambil mengacak rambutku. Ditariknya aku ke pangkuannya. Dipeluknya erat sekali. Aku merasakan sesuatu yang hangat di antara terpaan angin yang mulai dingin karena sore segera berganti senja.

"Coba lihat di sana, Zahra! Itu bundamu sedang mengaji Al-Qur'an. Ayo, belajar sama bunda!"
"Nggak mau ah, habisnya aku harus selalu pake kerudung, kayak Bunda."
"Itu tandanya bundamu pandai menjaga auratnya, dan Allah menjanjikan surga untuk semua wanita ikhlas yang menutup auratnya, termasuk kamu."

Aku masih menyimpan senyum bunda saat itu. Senyumnya menarikku untuk hadir di pangkuannya. Bunda pernah menghadiahiku kerudung jumputan berwarna hijau lembut untukku belajar mengaji. "Cantik!", sanjungnya. Walau dengan sedikit takut aku mulai belajar mempelajari lembar demi lembar Al-Qur'an kecil, sebelum akhirnya aku harus tetap belajar dengan Pak De Ja'far dan dapat sabetan rotan seperti nasib Mas Iyashu dan Mbak Syakira. Tapi itu sudah bertahun lalu. Sekarang, ini adalah tahun kelima di mana baru kujejakkan kembali kakiku di Bumi Tanjung Kasih, di rumah Eyang. Aku pernah bertanya usil pada Eyang saat kami melintasi sebuah pohon belimbing yang sedang berbuah lebat di kebun kami.

"Yang, coba tebak apa yang dilakukan makhluk bergigir lima itu."
"Bersujud!", jawabnya. Aku tersenyum kecil mendengarnya.

Shaf sungkeman kini ada pada giliranku. Aku memegang erat tangan Eyang dengan kuat. Ada titik bening yang jatuh di atas tangannya, bulir air mataku. Eyang mengangkat wajah keriputnya dan mengusap pipiku. Sambil mengangguk ia memelukku.

"Zahra sudah pulang, Yang! Zahra mohon maaf dan restu Eyang," bisikku terbata-bata. Membenamkan wajah haruku di bahu Eyang yang hangat.

Eyang mengusap lembut punggungku sambil berbisik, "Mari kita sama-sama bersujud, seperti belimbing, cah ayu!"

Aku terkesiap lalu tertawa bahagia. Ternyata Eyang masih begitu hafal dengan masa kecilku. Aku membantu Eyang berdiri, memapahnya menuju masjid yang gema takbirnya sama gagahnya dengan gema takbir di hati-hati kami, "Allahu Akbar wa Lillaahi alhamd!" [MQMedia.com]

Aku Hanya Ingin Shalat
laut
Publikasi : 27-01-2005


KotaSantri.com - Salim, nama anak itu. Rumahnya di dekat masjid. Hampir setiap hari ia selalu bermain di halaman masjid yang memang lumayan luas. Sebenarnya umurnya jauh lebih tua dariku, mungkin saat ini sudah menginjak 25 tahun, namun ia tidak tumbuh layaknya pemuda normal. Kelainan mental yang dideritanya sejak bayi membuatnya masih seperti anak kecil.

Malangnya, nama Salim sering dipakai ibu-ibu untuk menakuti anak-anaknya yang bandel. Padahal sampai saat ini tak pernah ada seorangpun yang disakitinya. Setiap pagi Salim membantu Jidan, pemuda penjaga masjid, untuk memunguti daun-daun yang gugur di halaman, tak jarang pula ia ikut membuang sampah itu ketempat pembuangan di samping masjid. Seperti dua orang sahabat, Jidan selalu bahagia dibantu olehnya, meski tak banyak yang bisa ia kerjakan.

Ketika selesai dengan tugas mereka, Jidan menghidangkan teh panas dan beberapa gorengan untuk sarapan mereka berdua. Tak ada kata malu, jijik atau apalah dalam hati Jidan ketika sarapan bersamanya. Dengan tulus Jidan menyayanginya, tanpa melihat keadaan fisik Salim. "Dia makhluk Allah, Wi. Dan bukan keinginannya untuk berada dalam kondisi itu." katanya suatu hari ketika kutanya tentang sikapnya yang agak "berbeda" dengan orang lain.

Saat hari beranjak siang, Jidan bersiap-siap ke kampus, sementara Salim telah pulang karena dipanggil ibunya untuk mandi. Selesai mandi, ia pun kembali datang ke masjid, mendapati Jidan tidak ada, tampak kecewa dari raut wajahnya. Dan dia pun kembali bermain dengan kesunyiannya di teras masjid.

Adakalanya dia diusir oleh jamaah, mereka tak ingin masjid kotor, karena Salim tidak menggunakan sandal. Jika itu terjadi, Jidan pun memanggilnya agar ia masuk lewat belakang saja.

"Aku heran, mengapa orang harus mengusir Salim dari teras masjid ini, toh dia hanya duduk di situ, tidak menginjakkan kakinya ke masjid." katanya suatu hari padaku usai seseorang mengusir Salim.
"Jidan, mereka takut Salim masuk dengan kaki yang kotor." kataku.
"Wi, ini rumah Allah, setiap manusia berhak untuk memasukinya, tak peduli apakah itu kita atau Salim, masjid ini takkan pernah kotor dihadapan Allah, karena dimasuki oleh orang yang membersihkannya, tapi justru kan terkotori dengan sikap kita yang mencemooh makhluk ciptaanNya, lagi pula kita tak pernah tau, apakah kita lebih baik dihadapan Allah ketimbang Salim 'kan??? Mungkin kita malah jauh lebih hina." katanya padaku.

Ya, aku rasa dia benar, mungkin dalam sebulan aku hanya sekali memunguti sampah-sampah di halaman masjid ini, ketika ada kerja bakti remaja masjid, tapi Salim....... Ya Allah maafkanlah aku yang tak pernah menghargainya, maafkan aku Salim.

***

"Bunda, Wia pergi dulu ya!!!" kataku seraya mencium tangan bunda.
"Mau kemana, Wi?" tanya bunda.
"Wia mau ke masjid, ada beberapa ketikan yang belum Wia selesaikan untuk Buletin Ummat." jawabku.
"Tapi pulangnya jangan terlalu malam ya, Wi." sahut bunda.
"Iya bunda, lagipula kan ada mas Raffi, nanti kita pulang bareng deh." kataku mengingatkan bunda kalau disana juga ada kakakku.
"Iya, tapi bilang juga sama mas mu, pulangnya jangan malam-malam, besokkan masih harus kuliah." timpal bunda.
"Iya, bunda sayang, udah ya bunda, assalamu'alaikum." ucapku sambil ke luar rumah menuju mesjid.
"Wa'alaikumussalam." jawab bunda pelan.

***

"Uh, bahannya masih kurang akurat, nih." kataku seraya menyodorkan beberapa kertas ulasan berita pada Fatimah.
"Apanya yang kurang akurat dek?" mas Raffi mulai sebel padaku, yang dari tadi sewot dengan berita-berita yang ia sodorkan.
"Iya dong, masa' jumlah korban, dan kerugian yang diakibatkan penyerangan sepihak AS terhadap Fallujah nggak ada." protesku.
"Ya ampun dek, namanya juga nyari berita di internet, iya gitulah keadaannya......". kakakku balas menjawab.
"Iya Wi, apalagi media penyiaran 'kan didominasi sama AS dan Yahudi, nggak bisa lagi, nyari yang bener-bener akurat, sekarang hanya gimana kita bisa menginformasikan apa yang terjadi di Fallujah kepada jamaah di sini." timpal Jidan. "Iya deh, kalau emang gitu." kataku menyerah, Fatimah dan beberapa teman redaktur lainnya hanya tersenyum melihatku yang masih agak sewot. Akhwat yang satu ini emang terkenal tenang, nggak seperti aku yang suka nyerocos.

"Yup, akhirnya selesai juga, tinggal diterbitkan dan semuanya beres." ujarku. Mas Raffi, Jidan dan Fatimah senyum-senyum melihat tingkahku.
"Dasar!!! paling cepet marahnya, eh paling cepet juga senengnya." ujar mas Raffi seraya memencet hidungku.
"Biarin." jawabku sekenanya.
"Udah yuk, kita pulang sekarang." ajak Fatimah.
"Iya, besok Wia ada ulangan, yuk mas." kutarik tangan mas Raffi keluar dari sekretariat remaja masjid. Kami bersama-sama berjalan di teras masjid yang beberapa lampunya telah dipadamkan oleh Jidan, ia pun ikut mengantar kami pulang sampai ke pintu depan.

"Eh, tumben ya! Udah malam begini masih ada yang shalat." ujar Yesi sambil menunjuk ke dalam masjid.
"Mana, Yes?" ucapku.
"Eh iya." sambung mas Raffi. Dalam keremangan cahaya kulihat sosok gempal sedang berdiri tegak dengan tangan yang dilipat kedepan. Tapi Yesi benar, tumben ada orang yang masih shalat malam-malam begini, kulirik jam tangan ku, 09.50 malam. Penasaran kami memperhatikannya, apalagi gerakan shalatnya terlihat aneh dimataku, dan...???

Ow ow... semua terperangah, hanya Jidan yang tersenyum tipis.

Subhanallah... Itu kan Salim. Semua terpesona melihatnya. Ada getaran aneh yang memasuki relung hati kami. Terlintas betapa egoisnya kami yang selama ini menganggap ibadah dan Islam hanya milik orang yang sehat jasmani dan rohani. Malam ini telah Allah tunjukkan bahwa Salim juga salah satu pemegang panji perjuangan Islam, paling tidak dia salah seorang yang telah menegakkan tiang agama.

Tak terasa dia pun selesai dan kaget mendapati kami sedang memperhatikannya. Dia tersenyum, mulai menggerakkan bibir dan tangannya, menunjuk ke arah tempat wudhu, entah apa artinya.

"Katanya, kakiku tidak kotor, aku sudah mecucinya dan berwudhu, aku hanya ingin shalat." ujar Jidan menterjemahkan. Dia mengangguk dan tersenyum.

"Iya, kamu boleh shalat kok, kapan aja." ujar Chika menahan haru.

Ya Allah... Aku menangis, terasa sesak dadaku mengingat keegoisanku dan semua orang padanya. Bukankah dia hanya ingin shalat??? Dan bukankah dia juga bagian dari kita disini???

Oh Salim, teruslah shalat, dan teruslah tegakkan tiang agama ini, karena orang yang normal belum tentu melakukannya. Benar kata Jidan, kita belum tentu lebih baik darinya.

Malam itu kami semua pulang dengan berjuta perasaan, ada haru, ada malu, dan pasti ada rasa syukur, karena Allah memberikan kami Salim yang senantiasa dapat memotivasi kami untuk lebih baik dihadapan sang Khalik. Alhamdulillah...


Untuk saudara yang telah mengajarkanku betapa aku harus bersyukur.